Pelajaran 2: 7 Komponen Pembelajaran Kontekstual
7 Komponen Utama dalam Pembelajaran Kontekstual
Oleh: Dr. Yonas Muanley, M.Th.
1.
Konstruktivisme (Constructivism)
Add caption |
Tuhan adalah pencipta. Mengerti berarti
mengetahui sesuatu jika ia mengetahui. Hanya Tuhan yang dapat mengetahui segala
sesuatu karena Dia pencipta segala sesuatu itu. Manusia haya dapat mengetahui
sesuatu yang dikonstruksikan Tuhan. Ini berarti pengetahuan manusia dapat
menunjuk pada struktur konsep yang dibentuk. Pengetahuan tidak dapat dipisahkan
dari subjek yang mengetahui.[2]
Sementara
menurut M.Sukardjo dan Ukim Komarudin, menyatakan:
Menurut Von Glasersfeld (1988) pengertian konstruktif
kognitif muncul pada abad ke-20 dalam tulisan Mark Baldwin yang secara luas
diperdalam dan disebarkan oleh Jean Piaget. Namun, apabila ditelusuri lebih
jauh, gagasan pokok konstruktivisme sebenarnya sudah dimulai oleh Giambastissta
Vico, seorang epistemology dari Italia (Suparno, 1997). Pada tahun 1710, Vico
dalam De Antiquissima Italorum Sapientia, mengungkapkan filsafatnya dengan
berkata, “ Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari
ciptaan.” Terkait dengan itu, dia menjelaskan bahwa mengetahui bermakna berarti
mengetahui bagaimana membuat sesuatu. Ini berarti bahwa seorang itu baru
mengetahui sesuatu jika ia dapat menjelaskan unsure-unsur apa yang membangun
sesuatu itu. Menurut Vico, “hanya Tuhan sajalah yang dapat mengerti alam raya
ini karena hanya Dia yang tahu bagaimana membuatnya dan dari apa membuatnya.
Sementara itu orang hanya dapat mengetahui segala sesuatu yang telah
dikonstruksikannya. Bagi Vico, pengetahuan selalu menunjuk kepada struktur
konsep yang dibentuk. …pengetahuan tidak lepas dari orang (subjek) yang tahu.[3]
Pendekatan
atau metode konstruktivisme dalam
pembelajaran didasarkan pada perpaduan antara beberapa penelitian dalam
psikologi kognitif dan psikologi sosial, sebagaimana tehnik-tehnik dalam
modifikasi perilaku yang didasarkan pada teori operant conditioning dalam psikologi behavioral. Premis dasarnya
adalah bahwa peserta didik harus secara
aktif membangun pengetahuan dan ketrampilannya dan informasi yang ada
diperoleh dalam proses membangun kerangka oleh pelajar dari lingkungan di luar
dirinya. Dalam konteks ini maka guru tidak begitu saja memberikan pengetahuan
kepada peserta didik, tetapi peserta didiklah yang harus aktif membangun
pengetahuan dalam pikirannya sendiri.[4]
Konstruktivisme adalah proses
membangun atau menyususun pengetahuan
baru dalam struktur kognitif anak didik berdasarkan pengalaman. Pembelajaran
kontekstual dipengaruhi oleh filsafat konstruktivisme yang mulai digagas oleh
Mark Baldwin dan selanjutnya oleh Jean P Piaget. Dalam pandangan
konstruktivisme, pengetahuan tumbuh dan berkembang melalui pengalaman.
Pemahaman berkembang semakin dalam dan kuat apabila selalu diuji oleh berbagai
macam pengalaman baru. Dalam konteks berpikir yang demikian, Piaget
mengemukakan berbagai teori, salah satunya yakni manusia memiliki struktur
pengetahuan dalam otaknya. Oleh karena itu tidak dapat disangkali bahwa pengalaman
yang sama bagi seseorang dalam hal ini bagi peserta didik akan dimaknai berbeda
oleh masing-masing individu (masing-masing peserta didik) dan disimpan dalam
kotak atau struktur yang berbeda. Setiap pengalaman baru akan dihubungkan
dengan kotak-kotak atau struktur pengetahuan dalam otak manusia/peserta didik.
Dengan demikian pada saat manusia/peserta didik belajar terjadilah dua proses dalam dirinya,
yaitu proses organisasi informasi dan proses adaptasi. Proses organisasi yang
dimaksud disini adalah proses ketika manusia menghubungkan informasi yang
diterimanya dengan struktur-struktur pengetahuan yang sudah disimpan atau sudah
ada sebelumnya dalam otak. Melalui proses organisasi inilah manusia dapat
memahami sebuah informasi baru yang didapatkannya dengan menyesuaikan informasi
tersebut dengan struktur pengetahuan yang dimilikinya, sehingga manusia dapat
mengasimilasikan atau mengakomodasikan informasi atau pengetahuan tersebut.
Sedangkan proses adaptasi adalah proses menggabungkan pengetahuan yang diterima
oleh manusia dan mengubah struktur pengetahuan yang sudah dimilikinya dengan struktur
pengetahuan baru sehingga terjadi keseimbangan[5].
Sebagaimana yang dikatakan di atas
yakni aliran filsafat
konstruktivisme berangkat dari
pemikiran epistemology Giambatista Vico.
Menurut ungkapan Vico, bahwa Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia
adalah tuan dan ciptaan-Nya.[6]
Berarti seseorang mengetahui sesuatu manakala ia dapat menjelaskan unsur-unsur
apa yang membangun sesuatu itu. Manusia sebagai subjek yang tahu akan sesuatu
dan mengembangkannya guna melangsungkan mengkonstruksikan pengetahuan melalui
pengalaman.
Dengan dasar itu, peserta didik dibiasakan
untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan
berupaya memahami dengan ide-ide yang ia miliki. Guru tidak akan mampu
memberikan semua pengetahuan kepada peserta didik, tetapi mereka harus
mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri. Melihat hal itu, maka
esensi dari teori konstruktivisme adalah ide peserta didik (seseorang) yang harus menemukan dan
mentransformasikan sesuatu informasi kompleks ke situasi lain.
Proses mengkonstruksikan bukan menerima
pengetahuan melainkan membangun sendiri pengetahuan melalui keterlibatan aktif
dalam kegiatan pembelajaran. Dalam pandangan konstruktifisme, cara memperoleh
lebih diutamakan dibandingkan seberapa banyak peserta didik menghafal atau
mengingat pengetahuan yang dipelajari. Untuk itu tugas guru adalah
memfasilitasi proses pembelajaran dengan: pertama, menjadikan pengetahuan
bermakna dan relevan bagi peserrta didik, kedua memberi kesempatan kepada peserta
didik menemukan dan menerapkan idenya sendiri, dan ketiga, menyadarkan peserta didik
supaya mampu menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar secara pro aktif.
Pengetahuan tumbuh dan berkembang
melalui pengalaman. Pemahaman berkembang semakin dalam dan semakin kuat,
apabila selalu diuji dengan pengalaman baru. Menurut Piaget, manusia memiliki
struktur pengetahuan dalam otaknya, seperti kotak-kotak yang masing-masing
berisi informasi bermakna yang
berbeda-beda.[7] Berarti,
pengalaman itu bagi semua orang akan dimaknai
secara berbeda-beda serta
digunakan dalam waktu yang tertentu atau kapan dan dimana sesuai kondisi. Dalam
menerapkan filosofi konstruktifisme ini terhadap kegaitan pembelajaran yang
penting diketahui, adalah ketika guru atau pendidik merancang pembelajaran dalam bentuk anak
didik bekerja, praktek mengerjakan sesuatu,
berlatih secara fisik, menulis karangan, mendemonstrasikan, menciptakan
ide, dan sebagainya.
Prinsip-prinsip pembelajaran dalam
pendekatan konstruktivisme melahirkan berbagai model pembelajaran, seperti
discovery learning, receptionlearning, assisted learning, active learning, the
accelerated learning, quantum learning, dan contextual teaching and learning.
Dari model-model pembelajaran ini terdapat pandangan yang sama, yakni bahwa
dalam proses belajar peserta didik berlaku aktif kegiatan belajar dengan membangun
sendiri pengetahuan berdasarkan pengalaman-pengalaman yang dimilikinya[8].
Pembelajaran lebih difokuskan pada peserta didik, peserta didiklah yang
merekonstruksi pengetahuan dengan dipandu oleh guru/pendidik.
2. Menemukan
(Inquiry)
Menemukan merupakan bagian inti dari
kegiatan pembelajaran dalam pendekatan
CTL. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh anak didik diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat
fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan
sendiri. Dengan demikian dalam proses perencanaan, guru PAK bukanlah
mempersiapkan sejumlah materi yang harus dihafal tetapi merancang pembelajaran
yang memungkinkan anak didik dapat menemukan sendiri materi yang harus
dipahaminya. Belajar pada dasrnya merupakan proses mental seseorang yang tidak
terjadi secara mekanis. Melalui proses mental, peserta didik dapat diharapkan
berkembang secara utuh baik intelektual, mental, emosional maupun spiritualnya.
Azas
inquiry secara umum dapat dilakukan, bukan hanya untuk mata pelajaran
tertentu, dengan mempedomani langkah-langkah berikut:
a.
Merumuskan
masalah, misalnya: bagaimanakan peristiwa terjadinya penyaliban Tuhan Yesus?
b.
Mengamati
atau melakukan observasi, misalnya: membaca Alkitab tentang peristiwa
penyaliban Yesus (Matius 27:32-42, Markus 15: 21-32, Lukas 23: 26, 33-43)
c.
Menganalisis
atau menyajikan hasil dalam tulisan, gambar, laporan, bagan, tabel dan karya
lainnya. Misalnya: siswa membuat gambar salib dan peta perjalanan ketika Yesus
diadili.
d.
Mengkomunikasikan
atau menyajikan hasil karya pada membaca, teman sekelas, guru atau audiens yang
lain. Misalnya:
-
Menempelkan
hasil karya atau tulisan atau gambar di majalah dinding.
-
Melakukan
refleksi
-
Bertanya
kepada teman dan lain sebagainya
e.
Menyimpulkan
hasil penemuan, misalnya: Yesus disalibkan di Golgota dengan dua orang
bersama-Nya disalibkan, dan pada pukul
15.00 terbelah bait Allah di Yerusalem.
Penerapan komponen inquiry ini dalam
proses pendekatan CTL dimulai dari adanya kesadarana anak didik terhadap
masalah yang jelas dan ingin ditelusuri atau dipecahkan . Dengan demikian anak
didik didorong untuk menemukan masalah. Wina Sanjaya menjelaskan bahwa jika masalah telah dipahami
dengan batasan-batasan yang jelas, selanjutnya siswa dapat mengajukan hipotesis
atau jawaban sementara sesuai dengan rumusan masalah yang diajukan.[9]
Berarti melalui
hipotesis peserta didik akan tertuntun untuk melakukan observasi dalam rangka
mengumpulkan data. Selanjutnya data yang telah diperoleh akan membawa peserta didik
pada pengujian hipotesis yang benar atau salah. Menemukan seperti yang telah
dijabarkan di atas merupakan petunjuk atas pedoman kepada siswa agar memiliki
sikap ilmiah, rasional dan logis serta membentuk kreativitasnya sendiri.
3. Bertanya
(Questioning)
Belajar pada hakekatnya adalah bertanya dan menjawab pertanyaan.
Bertanya dapat dipandang sebagai refleksi dari keingintahuan setiap individu
tentang sesuatu hal yang belum diketahui. Sementara menjawab pertanyaan
mencerminkan kemampuan seseorang
berfikir dan memahami sesuatu. Dalam
proses pembelajaran kontekstual, seorang pendidik tidak hanya menyampaikan
informasi begitu saja, akan tetapi memancing peserta didik supaya dapat
menemukan sendiri apa yang dipelajari yang hendak dijelajahi.. karena itu peran
bertanya sangat penting, sebab melalui pertanyaan yang diajukan oleh peserta didik,
guru PAK dapat membimbing dan mengarahkan mereka untuk menemukan setiap materi
yang dipelajari.
Dalam mempelajari kontekstual komponen bertanya
berguna untuk:
a.
Menggali
informasi baik administrasi maupun akademis
b.
Mengecek
pemahaman anak didik
c.
Membangkitkan
semangat dan respon anak didik
d.
Mengetahui
sejauh mana keingin tahuan anak didik dalam belajar
e.
Mengetahui
hal-hal yang sudah diketahui anak didik
f.
Memfokuskan perhatian siswa pada tujuan pembelajaran yang
benar
g.
Memicu
dan memacu anak didik untuk bertanya lebih banyak.
h.
Menyegarkan
kembali pengetahuan siswa.[10]
Menemukan (Inguiry) dapat diterapkan
dalam semua aktivitas belajar peserta didik, antara peserta didik dengan guru
PAK, antara peserta didik dengan orang lain yang bukan kelasnya dan dengan
lingkungannya. Hal penting dalam pembelajaran kontekstual adalah bertanya dan mendorong,
membimbing dan menilai kemampuan anak
didik untuk berbagai multi arah.
4. Masyarakat
belajar (Learning Community)
Leo Semenovich Vygotsky, seorang
psikolog Rusia menyatakan bahwa, “pengetahuan dan pemahaman anak ditopang
banyak oleh komunikasi dengan orang lain.”[11]
Itu berarti bahwa belajar diperoleh dari “Sharing” antara teman, antar kelompok
dan antara yang sudah tahu ke yang belum
tahu tentang sesuatu yang dipelajari.
Konsep masyarakat belajar adalah
mengupayakan hasil pembelajaran diperoleh melalui kerjasama dengan orang lain.
Kerja sama itu dapat dilakukan dalam berbagai bentuk baik dalam kelompok
belajar formal maupun dalam lingkungan yang terjadi secara alamiah.
Masyarakat belajar dapat terjadi
apabila ada proses komunikasi dua arah atau lebih. Peserta didik dibagi dalam
kelompok-kelompok yang anggotanya bersifat heterogen, baik dilihat dari kemampuan dan kecepatan
belajarnya, maupun dilihat dari bakat dan minatnya. Dalam konsep ini peserta didik
diberikan kebebasan untuk saling membelajarkan, artinya peserta didik yang
cepat mendorong teman yang menularkan kemampuan yang dimiliki peserta didik agar
mengerti dan memahami secara bersama-sama.
Dalam hal tertentu guru PAK dapat
membantu peserta didik dan bahkan menghadirkan orang-orang yang meiliki
keahlian khusus untuk membelajarkan anak didik. Prakteknya dalam
pendekatan pembelajaran kontekstual
dapat terwujud melalui;
a.
Pembentukan
kelompok kecil peserta didik
b.
Pembentukan
kelompok besar peserta didik
c.
Mendatangkan
nara sumber atau orang yang ahli dalam bidang tertentu agar peserta didik
memahami secara mendalam
d.
Bekerjasama
dengan kelas yang sederajat
e.
Bekerjasama
dengan sekelompok kelas yang lebih tinggi
f.
Bekerjasama
dengan kelompok masyarakat.[12]
Dengan demikian masyarakat belajar saling terlibat, saling
membelajarkan, bertukar informasi dan bertukar pengalaman.
5. Pemodelan
(Modeling)
Pemodelan adalah sebuah proses
pembelajaran dengan memperagakan sesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru oleh
setiap anak didik. Proses pemodelan tidak dari guru PAK saja melainkan peserta didik
dapat dimanfaatkan atau terlibat secara langsung. Dimana dalam kelompok
pembelajaran ada model yang biasa ditiru dan guru PAK bukan satu-satunya model.[13]
Berarti peserta didik secara bergilir menjadi model untuk mendemonstrasikan
sesuatu material atau teori dengan keahliannya. Misalnya dalam pelajaran Agama
Kristen, “guru memberikan model tentang membasuh kaki murid-murid, yang pernah
dilakukan Yesus kepada murid-murid-Nya” atau “siswa melayani teman-teman dengan perjamuan kudus seperti yang pernah
dilakukan Yesus”. Dalam model ini peserta didik secara langsung mempersiapkan
diri dan melakukan sesuatu sedapat mungkin memberi makna dan dapat ditiru oleh
teman-teman yang lain.
Jadi, atas pemodelan ini dalam
pendekatan pembelajaran kontekstual atau CTL, bukan satu-satunya model,
melainkan peserta didik lebih banyak aktif melakukannya sesuai dengan petunjuk
dan tujuan yang dicapai dalam materi pelajaran.
6. Refleksi
(Reflection)
Refleksi
adalah proses pengendapan pengalaman yang telah dipelajari dan dilakukan dengan
cara mengurutkan kembali kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa
pembelajaran yang telah dilaluinya. Melalui proses refleksi, pengalaman
belajar, akan dimasukkan dalam struktur kognitif anak didik.
Bahwasanya
refleksi merupakan respon terhaap kejadian, aktivitas atau pengetahuan yang
baru diterima. Misalnya ketika pelajaran
berakhir, anak didik merenung “kalau begitu setiap kesalahan yang saya lakukan
selama ini merupakan dosa, dan itu menjadi penghalang berkat dari Tuhan Yesus,
mestinya saya harus bertobat dan tidak mengulangi lagi agar saya memperoleh
keselamatan dan hidup yang kekal”.
Dalam
melakukan refleksi seorang guru PAK atau orangtua menuntun peserta didik
untuk menghubungkan antara pengetahuan
atau pengalaman yang sebelumnya dengan pengetahuan yang baru. Dengan demikian peserta
didik telah memperoleh sesuatu yang berguna bagi dirinya tentang apa yang
dipelajarinya. Intinya adalah pengetahuan yang didapatkan harus mengendap di benak anak didik dan mampu
merasakannya sebagai yang baru dan bermakna dalam kehidupannya.
Untuk
merefleksikan materi pelajaran, perlu guru PAK perlu menyisakan waktu sejenak,
agar peserta didik melakukan refleksi, sebagai relasi dari hasil refleksi
adalah:
a.
Peserta
didik dapat menyampaikan pernyataan langsung tentang apa yang diperolehnya hari
itu.
b.
Ada
catatan khusus yang dibuat oleh peserta didik, sebagai kesan dan saran mengenai
pelajaran hari ini.
c.
Ada
tindak lanjut diskusi peserta didik
d.
Ada
hasil karya yang dibuat oleh peserta didik.
Jadi, refleksi (reflection) merupakan
cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang
tentang apa yang sudah dilakukan di masa lampau.
7. Penilaian
yang sebenarnya (Authentic Assessment)
Assessment adalah proses pengumpulan
berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar anak didik.
Perkembangan belajar peserta didik perlu diketahui oleh guru, agar dapat
memastikan bahwa peserta didik mengalami proses pembelajaran yang benar.
Pembelajaran yang benar memang seharusnya ditekankan pada upaya membantu
peserta didik agar mampu mempelajari sesuatu, bukan ditekankan pada perolehan
banyak informasi atau tes diakhir pembelajaran.[14]
Kemajuan belajar dinilai dari proses,
bukan melalui hasil atau berbagai cara. Misalnya guru PAK mengajarkan tentang
doa, maka ketika giliran peserta didik
ternyata ada beberapa orang yang lebih bagus
dan terarah doanya, tentu mereka memperoleh nilai yang tinggi. Dalam penilaian
autentik ini, yang perlu diperhatikan
adalah keterampilan (Performansi) yang diperoleh peserta didik. Penilai tidak
hanya guru, tetapi peserta didik yang
lain atau orang lain dapat menjadi penilai.
Pelaksanaan authentic dapat berlangsung
selama proses pembelajaran, pada saat tes formatif dan sumatif, saat anak didik
tampil menyampaikan gagasan atau pertanyaan dan berkesinambungan belajar yang
aktif dari anak didik.
Zahorik menjelaskan 5 (lima) komponen
yang harus diperhatikan dalam pembelajaran kontekstual, yaitu:
1.
Pengaktifan
pengetahuan yang sudah ada (activating knowledge).
2.
Pemerolehan
pengetahuan baru (acquiring knowledge) dengan cara mempelajari cara keseluruhan
dulu, kemudian memperhatikan detailnya.
3.
Pemahaman
pengetahuan (Understanding knouledge) yaitu dengan cara menyusun konsep
sementara (hipotesis), melakukan sharing kepada orang lain agar mendapat
tanggapan (validasi), dan atas dasar tanggapan itu konsep direvisi dan
dikembangkan.
4.
Mempraktekkan
pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying knoeledge)
5.
Melakukan
refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan pengetahuan tersebut.[15]
Berdasarkan komponen di atas, penulis
merumuskan sesuatu gagasan bahwa pembelajaran kontekstual terjadi dalam
berbagai konteks dan mendorong peserta didik untuk mengingat pengetahuan sebelumnya,
sehingga menjadi suatu keterpaduan dengan
pengetahuan baru.
Pembelajaran kontekstual memberi
keuntungan bagi peserta didik seperti berikut:
1.
Peserta
didik lebih responsive ketika menggunakan pengetahuan dan keterampilan mereka
dalam situasi dunia nyata.
2.
Peserta didik lebih tertarik dan lebih mudah
menghubungkan perlajaran dengan pengetahuan mereka, karena dapat diaplikasikan
langsung dalam kehidupan keseharian.
3.
Peserta
didik dapat memanfaatkan semua lingkungan untuk mengaitkan ide-idenya sebagai
suatu penegetahuan yang perlu dikembangkan
4.
Hasil
belajar peserta didik menjadi efektif dan efisien, sehingga mampu
membangun
dirinya dan orang lain.[16]
Proses pendidikan melalui pembelajaran
kontekstual bertujuan membantu anak didik melihat makna dalam bahan pelajaran
yang mereka pelajari dengan cara menghubungkannya pada konteks kehidupan
sehari-hari, yaitu dengan konteks lingkungan pribadinya, sosialnya dan
budayanya. untuk mencapai tujuan tersebut, maka tujuh komponen CTL di atas akan
menuntun anak didik melaukan kegiatan yang bermakna, mengatur cara belajar
sendiri, bekerja sama, berpikir kritis dan kreatif, serta membawa anak didik
meraih kualitas dan prestasi yang tinggi.
[1]Epistemoloy adalah suatu cabang
filsafat ilmu yang mempelajari tentang sumber pengetahuan, yaitu bagaimana cara
memperoleh pengetahuan yang benar.
Dengan demikian Epistemolog adalah ahli pengetahuan.
[2]Wiji Suwarno, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, (Jogjakarta
: Ar RuzMedia, 2008), hlm. 57
[3]
M.Sukardjo dan Ukim Komarudin, Landasan
Pendidikan Konsep dan Aplikasinya, (Jakarta : Rajawali Pers), 2009), hlm. 54-55
[4]H.Baharudin dan Esa Nur Wahyuni, Teori Belajar dan Pembelajaran,
(Jogjakarta : AR-Ruzz Media, 2008), hlm. 115
[5] H.Baharudin dan Esa Nur Wahyuni,
Ibid, hlm. 118
[6] Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran: Berorientasi Standar
Pendidikan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hlm. 257.
[7] Depdiknas, Op. Cit, hlm. 11
[8] H.Baharudin dan Esa Nur Wahyuni,
Op.Cit., hlm. 128-129
[9] Wina Sanjaya, Op. Cit. hlm. 266
[10]Wina Sanjaya, Loc.Cit.
[11] Wina Sanjaya, Op. Cit hlm. 267
[12]Departemen
Pendidikan Nasional, Pendekatan Kontekstual … hlm. 25
[13] Fa’aso Ndraha, Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi
Melalui Pembelajaran Kontekstual, (Padang: Univesritas Negeri Padang,
2005), hlm. 5
[14] Hamzah B. Uno, Strategi Pembelajaran (Jakarta : Bumi
Aksara,2006), hlm.93
[15] John A. Zahorik, Constructivist Teaching, (Bloomington
Indian: Phi-Delta Kappa Educational Foundation, 1995), hlm. 14
[16] Fa’aso Ndraha, Pengembangan Kurikulum Berbasis Komptensi
Melalui Pembelajaran Kontekstual (Padang : Universitas Negeri
Padang, 2005), hlm. 20
Comments
Post a Comment