Pelajaran 2: 7 Komponen Pembelajaran Kontekstual


7 Komponen Utama dalam Pembelajaran Kontekstual
Oleh: Dr. Yonas Muanley, M.Th.

1.      Konstruktivisme (Constructivism)
Add caption
Sejarah singkat gagasan pokok aliran konstruktivisme diawali oleh Giambatista Vico, seorang epistemolog[1] Italia. Ia dipandang sebagai cikal bakal lahirnya Konstruktivisme. Vico mengatakan bahwa:
Tuhan adalah pencipta. Mengerti berarti mengetahui sesuatu jika ia mengetahui. Hanya Tuhan yang dapat mengetahui segala sesuatu karena Dia pencipta segala sesuatu itu. Manusia haya dapat mengetahui sesuatu yang dikonstruksikan Tuhan. Ini berarti pengetahuan manusia dapat menunjuk pada struktur konsep yang dibentuk. Pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari subjek yang mengetahui.[2]

Sementara menurut M.Sukardjo dan Ukim Komarudin, menyatakan:

Menurut Von Glasersfeld (1988) pengertian konstruktif kognitif muncul pada abad ke-20 dalam tulisan Mark Baldwin yang secara luas diperdalam dan disebarkan oleh Jean Piaget. Namun, apabila ditelusuri lebih jauh, gagasan pokok konstruktivisme sebenarnya sudah dimulai oleh Giambastissta Vico, seorang epistemology dari Italia (Suparno, 1997). Pada tahun 1710, Vico dalam De Antiquissima Italorum Sapientia, mengungkapkan filsafatnya dengan berkata, “ Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan.” Terkait dengan itu, dia menjelaskan bahwa mengetahui bermakna berarti mengetahui bagaimana membuat sesuatu. Ini berarti bahwa seorang itu baru mengetahui sesuatu jika ia dapat menjelaskan unsure-unsur apa yang membangun sesuatu itu. Menurut Vico, “hanya Tuhan sajalah yang dapat mengerti alam raya ini karena hanya Dia yang tahu bagaimana membuatnya dan dari apa membuatnya. Sementara itu orang hanya dapat mengetahui segala sesuatu yang telah dikonstruksikannya. Bagi Vico, pengetahuan selalu menunjuk kepada struktur konsep yang dibentuk. …pengetahuan tidak lepas dari orang (subjek) yang tahu.[3]
Pendekatan atau metode  konstruktivisme dalam pembelajaran didasarkan pada perpaduan antara beberapa penelitian dalam psikologi kognitif dan psikologi sosial, sebagaimana tehnik-tehnik dalam modifikasi perilaku yang didasarkan pada teori operant conditioning dalam psikologi behavioral. Premis dasarnya adalah bahwa peserta didik harus secara aktif membangun pengetahuan dan ketrampilannya dan informasi yang ada diperoleh dalam proses membangun kerangka oleh pelajar dari lingkungan di luar dirinya. Dalam konteks ini maka guru tidak begitu saja memberikan pengetahuan kepada peserta didik, tetapi peserta didiklah yang harus aktif membangun pengetahuan dalam pikirannya sendiri.[4]
Konstruktivisme adalah proses membangun  atau menyususun pengetahuan baru dalam struktur kognitif anak didik berdasarkan pengalaman. Pembelajaran kontekstual dipengaruhi oleh filsafat konstruktivisme yang mulai digagas oleh Mark Baldwin dan selanjutnya oleh Jean P Piaget. Dalam pandangan konstruktivisme, pengetahuan tumbuh dan berkembang melalui pengalaman. Pemahaman berkembang semakin dalam dan kuat apabila selalu diuji oleh berbagai macam pengalaman baru. Dalam konteks berpikir yang demikian, Piaget mengemukakan berbagai teori, salah satunya yakni manusia memiliki struktur pengetahuan dalam otaknya. Oleh karena itu tidak dapat disangkali bahwa pengalaman yang sama bagi seseorang dalam hal ini bagi peserta didik akan dimaknai berbeda oleh masing-masing individu (masing-masing peserta didik) dan disimpan dalam kotak atau struktur yang berbeda. Setiap pengalaman baru akan dihubungkan dengan kotak-kotak atau struktur pengetahuan dalam otak manusia/peserta didik. Dengan demikian pada saat manusia/peserta didik  belajar terjadilah dua proses dalam dirinya, yaitu proses organisasi informasi dan proses adaptasi. Proses organisasi yang dimaksud disini adalah proses ketika manusia menghubungkan informasi yang diterimanya dengan struktur-struktur pengetahuan yang sudah disimpan atau sudah ada sebelumnya dalam otak. Melalui proses organisasi inilah manusia dapat memahami sebuah informasi baru yang didapatkannya dengan menyesuaikan informasi tersebut dengan struktur pengetahuan yang dimilikinya, sehingga manusia dapat mengasimilasikan atau mengakomodasikan informasi atau pengetahuan tersebut. Sedangkan proses adaptasi adalah proses menggabungkan pengetahuan yang diterima oleh manusia dan mengubah struktur pengetahuan yang sudah dimilikinya dengan struktur pengetahuan baru sehingga terjadi keseimbangan[5].   
Sebagaimana yang dikatakan di atas yakni aliran filsafat  konstruktivisme  berangkat dari pemikiran  epistemology Giambatista Vico. Menurut ungkapan Vico, bahwa Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dan ciptaan-Nya.[6] Berarti seseorang mengetahui sesuatu manakala ia dapat menjelaskan unsur-unsur apa yang membangun sesuatu itu. Manusia sebagai subjek yang tahu akan sesuatu dan mengembangkannya guna melangsungkan mengkonstruksikan pengetahuan melalui pengalaman.
Dengan dasar itu, peserta didik dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan berupaya memahami dengan ide-ide yang ia miliki. Guru tidak akan mampu memberikan semua pengetahuan kepada peserta didik, tetapi mereka harus mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri. Melihat hal itu, maka esensi dari teori konstruktivisme adalah ide peserta  didik (seseorang) yang harus menemukan dan mentransformasikan sesuatu informasi kompleks ke situasi lain.
Proses mengkonstruksikan bukan menerima pengetahuan melainkan membangun sendiri pengetahuan melalui keterlibatan aktif dalam kegiatan pembelajaran. Dalam pandangan konstruktifisme, cara memperoleh lebih diutamakan dibandingkan seberapa banyak peserta didik menghafal atau mengingat pengetahuan yang dipelajari. Untuk itu tugas guru adalah memfasilitasi proses pembelajaran dengan: pertama, menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi peserrta didik, kedua memberi kesempatan kepada peserta didik menemukan dan menerapkan idenya sendiri, dan ketiga, menyadarkan peserta didik supaya mampu menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar secara pro aktif.
Pengetahuan tumbuh dan berkembang melalui pengalaman. Pemahaman berkembang semakin dalam dan semakin kuat, apabila selalu diuji dengan pengalaman baru. Menurut Piaget, manusia memiliki struktur pengetahuan dalam otaknya, seperti kotak-kotak yang masing-masing berisi  informasi bermakna yang berbeda-beda.[7] Berarti, pengalaman itu bagi semua orang akan dimaknai  secara berbeda-beda  serta digunakan dalam waktu yang tertentu atau kapan dan dimana sesuai kondisi. Dalam menerapkan filosofi konstruktifisme ini terhadap kegaitan pembelajaran yang penting diketahui, adalah ketika guru atau pendidik  merancang pembelajaran dalam bentuk anak didik bekerja, praktek mengerjakan sesuatu,  berlatih secara fisik, menulis karangan, mendemonstrasikan, menciptakan ide, dan sebagainya.
Prinsip-prinsip pembelajaran dalam pendekatan konstruktivisme melahirkan berbagai model pembelajaran, seperti discovery learning, receptionlearning, assisted learning, active learning, the accelerated learning, quantum learning, dan contextual teaching and learning. Dari model-model pembelajaran ini terdapat pandangan yang sama, yakni bahwa dalam proses belajar peserta didik berlaku aktif kegiatan belajar dengan membangun sendiri pengetahuan berdasarkan pengalaman-pengalaman yang dimilikinya[8]. Pembelajaran lebih difokuskan pada peserta didik, peserta didiklah yang merekonstruksi pengetahuan dengan dipandu oleh guru/pendidik.
2.      Menemukan (Inquiry)
Menemukan merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran dalam  pendekatan CTL. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh anak didik diharapkan  bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta,  tetapi hasil dari menemukan sendiri. Dengan demikian dalam proses perencanaan, guru PAK bukanlah mempersiapkan sejumlah materi yang harus dihafal tetapi merancang pembelajaran yang memungkinkan anak didik dapat menemukan sendiri materi yang harus dipahaminya. Belajar pada dasrnya merupakan proses mental seseorang yang tidak terjadi secara mekanis. Melalui proses mental, peserta didik dapat diharapkan berkembang secara utuh baik intelektual, mental, emosional maupun  spiritualnya.
Azas  inquiry secara umum dapat dilakukan, bukan hanya untuk mata pelajaran tertentu, dengan mempedomani langkah-langkah berikut:
a.      Merumuskan masalah, misalnya: bagaimanakan peristiwa terjadinya penyaliban Tuhan Yesus?
b.      Mengamati atau melakukan observasi, misalnya: membaca Alkitab tentang peristiwa penyaliban Yesus (Matius 27:32-42, Markus 15: 21-32, Lukas 23: 26, 33-43)
c.       Menganalisis atau menyajikan hasil dalam tulisan, gambar, laporan, bagan, tabel dan karya lainnya. Misalnya: siswa membuat gambar salib dan peta perjalanan ketika Yesus diadili.
d.     Mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada membaca, teman sekelas, guru atau audiens yang lain.  Misalnya:
-          Menempelkan hasil karya atau tulisan atau gambar di majalah dinding.
-          Melakukan refleksi
-          Bertanya kepada teman dan lain sebagainya
e.      Menyimpulkan hasil penemuan, misalnya: Yesus disalibkan di Golgota dengan dua orang bersama-Nya disalibkan,  dan pada pukul 15.00 terbelah bait Allah di Yerusalem.
Penerapan komponen inquiry ini dalam proses pendekatan CTL dimulai dari adanya kesadarana anak didik terhadap masalah yang jelas dan ingin ditelusuri atau dipecahkan . Dengan demikian anak didik didorong untuk menemukan masalah. Wina Sanjaya  menjelaskan bahwa jika masalah telah dipahami dengan batasan-batasan yang jelas, selanjutnya siswa dapat mengajukan hipotesis atau jawaban sementara sesuai dengan rumusan masalah yang diajukan.[9]
Berarti melalui hipotesis peserta didik akan tertuntun untuk melakukan observasi dalam rangka mengumpulkan data. Selanjutnya data yang telah diperoleh akan membawa peserta didik pada pengujian hipotesis yang benar atau salah. Menemukan seperti yang telah dijabarkan di atas merupakan petunjuk atas pedoman kepada siswa agar memiliki sikap ilmiah, rasional dan logis serta membentuk kreativitasnya sendiri.
3.      Bertanya (Questioning)

Belajar pada hakekatnya  adalah bertanya dan menjawab pertanyaan. Bertanya dapat dipandang sebagai refleksi dari keingintahuan setiap individu tentang sesuatu hal yang belum diketahui. Sementara menjawab pertanyaan mencerminkan kemampuan  seseorang berfikir dan memahami sesuatu.  Dalam proses pembelajaran kontekstual, seorang pendidik tidak hanya menyampaikan informasi begitu saja, akan tetapi memancing peserta didik supaya dapat menemukan sendiri apa yang dipelajari yang hendak dijelajahi.. karena itu peran bertanya sangat penting, sebab melalui pertanyaan yang diajukan oleh peserta didik, guru PAK dapat membimbing dan mengarahkan mereka untuk menemukan setiap materi yang dipelajari.
            Dalam  mempelajari kontekstual komponen bertanya berguna untuk:
a.      Menggali informasi baik administrasi maupun akademis
b.      Mengecek pemahaman anak didik
c.       Membangkitkan semangat dan respon anak didik
d.     Mengetahui sejauh mana keingin tahuan anak didik dalam belajar
e.      Mengetahui hal-hal yang sudah diketahui anak didik
f.        Memfokuskan  perhatian siswa pada tujuan pembelajaran yang benar
g.      Memicu dan memacu anak didik untuk bertanya lebih banyak.
h.      Menyegarkan kembali pengetahuan siswa.[10]
Menemukan (Inguiry) dapat diterapkan dalam semua aktivitas belajar peserta didik, antara peserta didik dengan guru PAK, antara peserta didik dengan orang lain yang bukan kelasnya dan dengan lingkungannya. Hal penting dalam pembelajaran kontekstual adalah bertanya dan mendorong, membimbing dan menilai kemampuan  anak didik untuk berbagai multi arah.
4.      Masyarakat belajar   (Learning Community)
Leo Semenovich Vygotsky, seorang psikolog Rusia menyatakan bahwa, “pengetahuan dan pemahaman anak ditopang banyak oleh komunikasi dengan orang lain.”[11] Itu berarti bahwa belajar diperoleh dari “Sharing” antara teman, antar kelompok dan  antara yang sudah tahu ke yang belum tahu tentang sesuatu yang dipelajari.
Konsep masyarakat belajar adalah mengupayakan hasil pembelajaran diperoleh melalui kerjasama dengan orang lain. Kerja sama itu dapat dilakukan dalam berbagai bentuk baik dalam kelompok belajar formal maupun dalam lingkungan yang terjadi secara alamiah.
Masyarakat belajar dapat terjadi apabila ada proses komunikasi dua arah atau lebih. Peserta didik dibagi dalam kelompok-kelompok yang anggotanya bersifat heterogen,  baik dilihat dari kemampuan dan kecepatan belajarnya, maupun dilihat dari bakat dan minatnya. Dalam konsep ini peserta didik diberikan kebebasan untuk saling membelajarkan, artinya peserta didik yang cepat mendorong teman yang menularkan kemampuan yang dimiliki peserta didik agar mengerti dan memahami secara bersama-sama.
Dalam hal tertentu guru PAK dapat membantu peserta didik dan bahkan menghadirkan orang-orang yang meiliki keahlian khusus untuk membelajarkan anak didik. Prakteknya dalam pendekatan  pembelajaran kontekstual dapat terwujud melalui;
a.      Pembentukan kelompok kecil peserta didik
b.      Pembentukan kelompok besar peserta didik
c.       Mendatangkan nara sumber atau orang yang ahli dalam bidang tertentu agar peserta didik memahami secara mendalam
d.     Bekerjasama dengan kelas yang sederajat
e.      Bekerjasama dengan sekelompok kelas yang lebih tinggi
f.        Bekerjasama dengan kelompok masyarakat.[12]
Dengan demikian  masyarakat belajar saling terlibat, saling membelajarkan, bertukar informasi dan bertukar pengalaman.
5.      Pemodelan (Modeling)
Pemodelan adalah sebuah proses pembelajaran dengan memperagakan sesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru oleh setiap anak didik. Proses pemodelan tidak dari guru PAK saja melainkan peserta didik dapat dimanfaatkan atau terlibat secara langsung. Dimana dalam kelompok pembelajaran ada model yang biasa ditiru dan guru PAK bukan satu-satunya model.[13] Berarti peserta didik secara bergilir menjadi model untuk mendemonstrasikan sesuatu material atau teori dengan keahliannya. Misalnya dalam pelajaran Agama Kristen, “guru memberikan model tentang membasuh kaki murid-murid, yang pernah dilakukan Yesus kepada murid-murid-Nya” atau “siswa melayani teman-teman  dengan perjamuan kudus seperti yang pernah dilakukan Yesus”. Dalam model ini peserta didik secara langsung mempersiapkan diri dan melakukan sesuatu sedapat mungkin memberi makna dan dapat ditiru oleh teman-teman yang lain.
Jadi, atas pemodelan ini dalam pendekatan pembelajaran kontekstual atau CTL, bukan satu-satunya model, melainkan peserta didik lebih banyak aktif melakukannya sesuai dengan petunjuk dan tujuan yang dicapai dalam materi pelajaran.
6.      Refleksi (Reflection)
Refleksi adalah proses pengendapan pengalaman yang telah dipelajari dan dilakukan dengan cara mengurutkan kembali kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa pembelajaran yang telah dilaluinya. Melalui proses refleksi, pengalaman belajar, akan dimasukkan dalam struktur kognitif anak didik.
Bahwasanya refleksi merupakan respon terhaap kejadian, aktivitas atau pengetahuan yang baru diterima. Misalnya  ketika pelajaran berakhir, anak didik merenung “kalau begitu setiap kesalahan yang saya lakukan selama ini merupakan dosa, dan itu menjadi penghalang berkat dari Tuhan Yesus, mestinya saya harus bertobat dan tidak mengulangi lagi agar saya memperoleh keselamatan dan hidup yang kekal”.
Dalam melakukan refleksi seorang guru PAK atau orangtua menuntun peserta didik untuk  menghubungkan antara pengetahuan atau pengalaman yang sebelumnya dengan pengetahuan yang baru. Dengan demikian peserta didik telah memperoleh sesuatu yang berguna bagi dirinya tentang apa yang dipelajarinya. Intinya adalah pengetahuan yang didapatkan  harus mengendap di benak anak didik dan mampu merasakannya sebagai yang baru dan bermakna dalam kehidupannya.
Untuk merefleksikan materi pelajaran, perlu guru PAK perlu menyisakan waktu sejenak, agar peserta didik melakukan refleksi, sebagai relasi dari hasil refleksi adalah:
a.      Peserta didik dapat menyampaikan pernyataan langsung tentang apa yang diperolehnya hari itu.
b.      Ada catatan khusus yang dibuat oleh peserta didik, sebagai kesan dan saran mengenai pelajaran hari ini.
c.       Ada tindak lanjut diskusi peserta didik
d.     Ada hasil karya yang dibuat oleh peserta didik.
Jadi, refleksi (reflection) merupakan cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang apa yang sudah dilakukan di masa lampau.

7.      Penilaian yang sebenarnya (Authentic Assessment)
Assessment adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar anak didik. Perkembangan belajar peserta didik perlu diketahui oleh guru, agar dapat memastikan bahwa peserta didik mengalami proses pembelajaran yang benar. Pembelajaran yang benar memang seharusnya ditekankan pada upaya membantu peserta didik agar mampu mempelajari sesuatu, bukan ditekankan pada perolehan banyak informasi atau tes diakhir pembelajaran.[14]
Kemajuan belajar dinilai dari proses, bukan melalui hasil atau berbagai cara. Misalnya guru PAK mengajarkan tentang doa, maka ketika giliran  peserta didik ternyata ada beberapa orang yang  lebih bagus dan terarah doanya, tentu mereka memperoleh nilai yang tinggi. Dalam penilaian autentik ini,  yang perlu diperhatikan adalah keterampilan (Performansi) yang diperoleh peserta didik. Penilai tidak hanya guru, tetapi peserta didik  yang lain atau orang lain dapat menjadi penilai.
Pelaksanaan authentic dapat berlangsung selama proses pembelajaran, pada saat tes formatif dan sumatif, saat anak didik tampil menyampaikan gagasan atau pertanyaan dan berkesinambungan belajar yang aktif dari anak didik.
Zahorik menjelaskan 5 (lima) komponen yang harus diperhatikan dalam pembelajaran kontekstual, yaitu: 
1.      Pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activating knowledge).
2.      Pemerolehan pengetahuan baru (acquiring knowledge) dengan cara mempelajari cara keseluruhan dulu, kemudian memperhatikan detailnya.
3.      Pemahaman pengetahuan (Understanding knouledge) yaitu dengan cara menyusun konsep sementara (hipotesis), melakukan sharing kepada orang lain agar mendapat tanggapan (validasi), dan atas dasar tanggapan itu konsep direvisi dan dikembangkan.
4.      Mempraktekkan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying knoeledge)
5.      Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan  pengetahuan tersebut.[15]
Berdasarkan komponen di atas, penulis merumuskan sesuatu gagasan bahwa pembelajaran kontekstual terjadi dalam berbagai konteks dan mendorong peserta  didik untuk mengingat pengetahuan sebelumnya, sehingga menjadi suatu keterpaduan dengan  pengetahuan baru.
Pembelajaran kontekstual memberi keuntungan bagi peserta didik seperti berikut:
1.      Peserta didik lebih responsive ketika menggunakan pengetahuan dan keterampilan mereka dalam situasi dunia nyata.
2.       Peserta didik lebih tertarik dan lebih mudah menghubungkan perlajaran dengan pengetahuan mereka, karena dapat diaplikasikan langsung dalam kehidupan keseharian.
3.      Peserta didik dapat memanfaatkan semua lingkungan untuk mengaitkan ide-idenya sebagai suatu penegetahuan yang perlu dikembangkan
4.      Hasil belajar peserta didik menjadi efektif dan efisien, sehingga mampu
membangun dirinya dan orang lain.[16]
Proses pendidikan melalui pembelajaran kontekstual bertujuan membantu anak didik melihat makna dalam bahan pelajaran yang mereka pelajari dengan cara menghubungkannya pada konteks kehidupan sehari-hari, yaitu dengan konteks lingkungan pribadinya, sosialnya dan budayanya. untuk mencapai tujuan tersebut, maka tujuh komponen CTL di atas akan menuntun anak didik melaukan kegiatan yang bermakna, mengatur cara belajar sendiri, bekerja sama, berpikir kritis dan kreatif, serta membawa anak didik meraih kualitas dan prestasi yang tinggi.




[1]Epistemoloy adalah suatu cabang filsafat ilmu yang mempelajari tentang sumber pengetahuan, yaitu bagaimana cara memperoleh pengetahuan yang benar.  Dengan demikian Epistemolog adalah ahli pengetahuan.
[2]Wiji Suwarno, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, (Jogjakarta : Ar RuzMedia, 2008), hlm. 57
[3]  M.Sukardjo dan Ukim Komarudin, Landasan Pendidikan Konsep dan Aplikasinya,  (Jakarta : Rajawali Pers), 2009), hlm. 54-55
[4]H.Baharudin dan Esa Nur Wahyuni, Teori Belajar dan Pembelajaran, (Jogjakarta : AR-Ruzz Media, 2008), hlm. 115
[5] H.Baharudin dan Esa Nur Wahyuni, Ibid, hlm. 118
[6] Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran: Berorientasi Standar Pendidikan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hlm. 257.
[7] Depdiknas, Op. Cit, hlm. 11
[8] H.Baharudin dan Esa Nur Wahyuni, Op.Cit., hlm. 128-129
[9] Wina Sanjaya, Op. Cit. hlm. 266
[10]Wina Sanjaya, Loc.Cit.
[11] Wina Sanjaya, Op. Cit hlm. 267
[12]Departemen Pendidikan Nasional, Pendekatan Kontekstual … hlm. 25
[13] Fa’aso Ndraha, Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi Melalui Pembelajaran Kontekstual, (Padang: Univesritas Negeri Padang, 2005), hlm. 5
[14] Hamzah B. Uno, Strategi Pembelajaran (Jakarta : Bumi Aksara,2006), hlm.93
[15] John A. Zahorik, Constructivist Teaching, (Bloomington Indian: Phi-Delta Kappa Educational Foundation, 1995), hlm. 14
[16] Fa’aso Ndraha, Pengembangan Kurikulum Berbasis Komptensi Melalui Pembelajaran Kontekstual (Padang : Universitas Negeri Padang, 2005), hlm. 20

Comments

Popular posts from this blog

Pembelajaran 3: Filosofis Pembelajaran Kontekstual